Penjelasan Singkat Tentang Qurban. Hukum menyembelih hewan qurban
adalah sunnah muakkad bagi muslim, yang baligh dan berakal. Tiga hal yang barusan juga
menjadi syarat atas setiap perintah yang wajib dan yang sunnah. Khusus untuk melaksanakan
ibadah Qurban, disyaratkan pula mampu secara ekonomi untuk melaksanakannya
sebagaimana ibadah haji.
Rincian penjelasan mengenai siapa
yang dianjurkan berqurban sebagai berikut.
Pertama, anak yang telah dapat
dikategorikan mumayyiz (anak yang mampu membedakan
yang mudarat dan mafsadat) bahkan sudah tergolong murahiq (mendekati usia baligh) belum
disunnahkan untuk beribadah qurban, tetapi sah bila melaksanakannya sebagaimana
ia belum wajib melaksanakan puasa tetapi sah bila melaksanakannya.
Kedua, anak kecil yang belum dapat
digolongkan mumayyis termasuk
juga anak balita tidak sah melaksanakan ibadah qurban, tetapi boleh dan sah
bagi ayahnya meniatkan ibadah qurban untuknya.
Ketiga, orang yang dikategorikan
mempunyai kemampuan untuk beribadah qurban adalah orang yang pada hari ke 10,
11, 12, 13 mempunyai kelebihan yang cukup untuk beribadah qurban dari kebutuhan
primer hidupnya sendiri dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.
Penjelasan tersebut antara lain
diperoleh dari kitab Muhnil
Muhtaj karya Muhammad Khotib As Syarbini, Jilid II hal 283 dan Khowasyi
Syrwani karya
Abdul Hamid asy-Syarwani, Jilid IX hal 367.
Untuk Siapa Daging Qurban?
Bolehkah orang yang beribadah
qurban memakan daging qurbannya sendiri? Menurut mazhab Syafi’ii, Maliki, dan Hanafi,
orang yang beribadah qurban boleh hukumnya untuk memakan daging qurbannya
sendiri, dan boleh pula bagi keluarganya yang menjadi tanggungjawabnya untuk
ikut serta memakannya. Bahkan sunnah untuk memakan daging qurbannya sendiri.
Sedangkan menurut mazhab Hanbali adalah wajib memakannya.
Syeikh Muhyiddin bin Syarf
an-Nawawi dalam Syarh al-Muhadzab, Jilid I hal 306, mengutip dua pendapat Imam Syafi’i
mengenai berapa bagian yang diperbolehkan bagi orang yang berqurban dan berapa
bagian untuk disedekahkan.
Imam Syafi’i, pertama-tama
menyatakan, diperbolehkan mengambil setengah bagiannya untuk yang berqurban dan
keluarganya. Ini disarikan dari ayat Al-Qur’an :
Maka makanlah sebahagian daripadanya dan
(sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS Al-Hajj 22: 28)
Pendapat itu diperbaharui oleh Imam
Syafi’i (dalam qaul jadid-nya): Orang yang berkurban dan keluarganya hanya
boleh mengambil sepertiga dari daging hewan qurbannya. Ini berdasarkan firman
Alllah SWT :
Maka makanlah sebahagiannya dan
beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak
meminta-minta) dan orang yang meminta. (QS Al-Hajj 22: 36).
Dalam Syarh
al-Muhadzab dijelaskan, maksud dari “al-qani’” dalam ayat diatas adalah warga sekitar rumah orang yang
berqurban, sementara “al-mu’tar” adalah
orang yang mengharap atau meminta daging qurban itu. Dengan demikian diperoleh
tiga bagian dalam ayat di atas, yakni sepertiga untuk orang yang berkurban dan
keluarganya, sementara dua pertiganya lagi untuk dibagikan kepada orang lain.
Daging qurban lebih dianjurkan
untuk diberikan kepada warga muslim yang fakir dan miskin dengan niat shadaqah.
Jikalau daging itu diberikan kepada muslim yang dapat dikategorikan kaya (cukup
dan terpenuhi ekonominya) maka daging itu diberikan dengan niat memberikan
hadiah, karena sedianya shadaqah atau sedekah itu bukan untuk orang yang sudah
kaya.
Ditambahkan, menurut madzhab
Syafi’i, tidak boleh memberikan daging qurban kepada selain muslim, sebagaimana
zakat fitrah, karena ia tidak digolongkan termasuk orang yang berhak
menerimanya. Demikian pula menurut matzhab Malikiyyah.
Daging Dibagikan Mentah atau
Dimasak?
Tidak boleh memberikan kepada fakir
dan miskin daging qurban setelah dimasak atau dalam bentuk jamuan makan bersama
secara keseluruhan karena hak mereka adalah hak kepemilikan dan bukan hak untuk
makan, sehingga mereka akan dapat memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan,
misalnya mereka butuh untuk menjualnya.
Akan tetapi, boleh juga
memberikannya sebagiannya dalam bentuk daging mentah dan sebagian lainnya
setelah dimasak atau dalam bentuk jamuan makan bersama. Hal ini berbeda dengan
pemberian kepada orang kaya (cukup ekonominya), yakni boleh memberikan
kepadanya daging qurban setelah dimasak atau dalam bentuk jamuan makan bersama.
Demikian penjelasan Syeikh
Muhyiddin bin Syarf an-Nawawi dalam kitab Roudlotut
Tholibin, Jilid III hal 222, dan Ibnu Hajar
al-Haitami dalam al-Minhajul Qowim, I hal 631.